Seorang mantan finalis kompetisi masak terkenal di Malaysia terlibat dalam kasus pembunuhan yang mengejutkan masyarakat. Etiqah Siti Noorashikeen Mohd Sulong, 37 tahun, bersama mantan suaminya, Mohammad Ambree Yunos, 44 tahun, dijatuhi hukuman penjara 34 tahun. Keduanya terbukti bersalah dalam kasus kematian asisten rumah tangga, Nur Afiyah Daeng Damin, yang terjadi pada Desember 2021.
Putusan diambil oleh Pengadilan Tinggi Shah Alam yang menyatakan bahwa terdapat niat jahat di balik tindakan keduanya. Terungkap bahwa Mohammad Ambree juga dikenakan hukuman 12 kali cambukan dengan Etiqah dikecualikan dari hukuman cambuk karena pertimbangan kewanitaan. Hal ini menunjukkan bagaimana sistem hukum berupaya menyeimbangkan keadilan dengan komponen gender.
Pembuktian Kasus di Pengadilan
Pihak jaksa penuntut memiliki beban berat dalam membuktikan kasus ini. Mereka berhasil menunjukkan bahwa korban mengalami luka-luka yang disengaja dan sistematis, yang mengakibatkan kematian Nur Afiyah. Hakim mengemukakan bahwa kekejaman yang dialami oleh korban tidak dapat diabaikan, dan jenis luka yang diderita menunjukkan niat jahat yang sangat serius.
Menggunakan data dari laporan medis, pihak jaksa menjelaskan bahwa luka-luka yang dialami korban merupakan hasil dari tindakan yang dilakukan secara sadar dalam periode waktu yang panjang. Penjelasan tersebut membuat banyak orang merasakan betapa tragisnya nasib yang dialami oleh wanita tersebut.
Reaksi Masyarakat dan Implikasi Hukum
Kasus ini menimbulkan banyak reaksi dari masyarakat, terutama terkait isu kekerasan terhadap perempuan. Banyak yang merasa bahwa hukuman yang dijatuhkan masih terlalu ringan mengingat sifat kekejaman yang dialami oleh korban. Penuntut umum mengenakan dakwaan berdasarkan Pasal 302 KUHP Malaysia yang pada awalnya memungkinkan hukuman mati. Namun, keputusan untuk menjatuhkan hukuman 34 tahun penjara memberikan pandangan berbeda mengenai cara hukum menangani kasus-kasus berat seperti ini.
Dalam perkembangan selanjutnya, Kementerian Luar Negeri Indonesia mengonfirmasi bahwa meski Nur Afiyah berdarah Bugis, ia bukanlah Warga Negara Indonesia. Informasi ini penting untuk mencegah kesalahpahaman di kalangan publik tentang kewarganegaraan dan latar belakang korban sesuai dengan perhatian yang diberikan ke kasus ini. Penyelidikan lebih lanjut juga dapat membantu memahami bagaimana perlindungan hukum untuk pekerja migran dapat ditingkatkan.
Keputusan hakim dalam kasus ini menekankan betapa pentingnya hukum sebagai alat untuk melindungi mereka yang paling rentan. Namun, pertanyaan besar tetap ada: apa langkah selanjutnya untuk mencegah terulangnya kasus serupa? Malah, penting bagi masyarakat dan pemerintah untuk berkolaborasi dalam menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi semua individu.
Dengan demikian, meskipun keputusan pengadilan sudah diambil, diskusi mengenai hak asasi manusia dan perlindungan perempuan tetap relevan. Untuk mengakhiri siklus kekerasan, perlu ada dukungan serta langkah nyata dalam pembenahan sistem peradilan, perlindungan tenaga kerja, dan juga pendidikan kepada masyarakat mengenai kesetaraan dan hak asasi.