Terlalu baik, bisa merusak diri sendiri. Mengapa? Karena untuk menyenangkan semua orang ternyata tidak sehat, baik untuk fisik maupun mental.
Berbuat baik kepada semua orang adalah hal yang mulia. Namun, ketika kebaikan ini bertransformasi menjadi kebutuhan yang konstan untuk menyenangkan orang lain, maka dampaknya bisa sangat merugikan. Hal ini terutama berlaku dalam konteks kesehatan mental dan kualitas hidup seseorang.
Memahami Pola Perilaku yang Menyenangkan Orang Lain
Pola perilaku ini dikenal dengan istilah people pleasing. Fenomena ini dapat ditemukan di berbagai rentang usia, terutama di kalangan remaja dan dewasa. Individu yang terjebak dalam perilaku ini cenderung memusatkan perhatian pada kepuasan orang lain, meskipun mereka harus mengorbankan kebutuhan dan keinginan diri sendiri. Ketika seseorang beranggapan, ‘Yang penting kamu senang, aku tidak apa-apa’, ini menjadi jelas bahwa perilaku tersebut dapat berdampak negatif.
Meski sekilas terlihat positif, kerap kali mengabaikan kebutuhan pribadi demi kebahagiaan orang lain dapat menjadi racun yang perlahan menggerogoti kesehatan mental. Dalam dunia psikologi, perilaku ini sering kali berakar dari pengalaman masa kecil. Ada trauma emosional yang membentuk keinginan untuk diterima dan dicintai, terutama ketika cinta itu tidak terjangkau pada awal kehidupan.
Dampak dan Strategi Mengatasi Kecenderungan Menyenangkan Semua Orang
Terlalu sering menyenangkan orang lain dapat membawa sejumlah dampak negatif. Ada beberapa akibat yang umum, seperti kelelahan emosional. Ketika seseorang terus-menerus menyesuaikan diri dengan harapan orang lain, bisa terjadi stres kronis yang menghilangkan kendali atas hidup. Ini dapat berujung pada hilangnya identitas diri, di mana individu menjadi tidak lagi percaya diri dalam keputusan yang diambilnya.
Orang yang terbiasa untuk menyenangkan orang lain juga cenderung rentan dimanfaatkan, terutama oleh mereka yang memiliki sifat manipulatif. Mereka sering kali mengiyakan semua permintaan tanpa mempertimbangkan apakah ini sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan pribadi mereka. Ini berisiko tinggi menimbulkan masalah kesehatan mental, terutama terkait dengan depresi, kecemasan, dan gejala burnout.
Di akhir, tidak ada salahnya untuk menjadi orang baik. Namun penting untuk diingat bahwa menjadi baik tidak berarti harus mengorbankan diri di luar batas kemampuan. Individu yang sehat secara emosional memahami kapan harus mengatakan ‘ya’ dan kapan harus menempatkan batasan dengan mengatakan ‘tidak’, tanpa merasa bersalah. Memahami personal boundaries adalah bentuk cinta yang sangat penting terhadap diri sendiri.
Relasi yang seimbang mengatur kapan saatnya memberi dan menerima. Ini adalah kunci untuk menjaga kesehatan mental agar tetap terjaga. Mengetahui kapan untuk berkata tidak adalah langkah bijak dalam membangun hubungan yang sehat.
